Di bawah ini adalah beberapa catatan ringkas dari saya, sekitar kejadian dan peristiwa baik yang saya alami maupun saya ketahui sekitar gerakan G.30S/PKI yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Singkatnya secara kronologis dan numerik dapat saya tuliskan disini sbb.:
Pertama, pada tanggal 1 oktober 1965 kurang lebih jam 06.00 pada saat saya sedang mandi, maka datanglah Brig.Jen Dr. Amino (Ka.Dep.Psychiatri RSGS Jakarta) yang dengan serta-merta memberitahukan tentang diculiknya Let.Jen. A.Yani beserta beberapa Jenderal lainnya oleh sepasukan bersenjata yang belum diketahuinya. Sesudah mandi, maka saya segera berangkat ke MBAD dengan mengenakan pakaian dinas lapangan.
Kedua, setibanya di MBAD dan setelah menampung beberapa berita dari beberapa sumber, maka oleh karena pada saat itu saya kebetulan sebagai Pati yang berpangkat tersenior, saya segera memprakarsai untuk mengadakan rapat darurat diantara para asisten Men./pangad atau wakilnya yang hadir pada saat itu di MBAD, yaitu para pejabat teras SUAD dari asisten Men.Pangad sampai asisten VII Men.Pangad termasuk Irjen P.U dan Pejabat Sekretariat.
Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan: Secara positif bahwa Let. Jen. A.Yani beserta lima orang Jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata.
Berikutnya, rapat memutuskan untuk menunjuk May.Jen Soeharto Pang.kostrad agar bersedia mengisi pimpinan AD yang terdapat vacuum. Melalui korier khusus, maka keputusan rapat kita sampaikan kepada May.Jen Soeharto di MAKOSTRAD.
Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan: Secara positif bahwa Let. Jen. A.Yani beserta lima orang Jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata.
Berikutnya, rapat memutuskan untuk menunjuk May.Jen Soeharto Pang.kostrad agar bersedia mengisi pimpinan AD yang terdapat vacuum. Melalui korier khusus, maka keputusan rapat kita sampaikan kepada May.Jen Soeharto di MAKOSTRAD.
Ketiga, pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam: 09.00 saya menerima laporan dari MBAD yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI saya ditunjuk oleh Presiden/Panglima tertinggi untuk menjabat sebagai carataker Men./Pangad. Oleh karena baru merupakan berita, maka saya tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk menunggu perintah lebih lanjut.
Keempat, bahwa pada hari itu juga tanggal: 1 Oktober 1965 sesudah saya menerima berita tentang penunjukkan saya untuk menjabat sebagai carataker Men./Pangad, maka berturut-turut datanglah utusan-utusan dari Presiden/Panglima Tertinggi yaitu:
1. Let.Kol.Inf. Ali Ebram, Kasi I Staf Resimen Cakrabirawa yang datang k.l jam: 09.30
2. Brig.Jen. TNI Soetardio, Jaksa Agung, bersama Brig.Jen. Soenarjo, Ka.Reserse Pusat Kejaksaan Agung yang datang bersama pada jam: 10.00 (k.l)
3. Kolonel Bambang Wijarnako, Ajudan Presiden/Pangti yang datang sekitar j am: 12.00.
1. Let.Kol.Inf. Ali Ebram, Kasi I Staf Resimen Cakrabirawa yang datang k.l jam: 09.30
2. Brig.Jen. TNI Soetardio, Jaksa Agung, bersama Brig.Jen. Soenarjo, Ka.Reserse Pusat Kejaksaan Agung yang datang bersama pada jam: 10.00 (k.l)
3. Kolonel Bambang Wijarnako, Ajudan Presiden/Pangti yang datang sekitar j am: 12.00.
Oleh karena saya sudah terlanjur masuk dalam hubungan komando taktis dibawah May.Jen. Soeharto (vide titik 2 di atas), maka saya tidak dapat secara langsung menghadap dengan tanpa seidzin May.Jen. Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan tersebut di atas, sayapun berusaha mendapatkan idzin dari May.Jen Soeharto. Akan tetapi May.Jen Soeharto selalu melarangnya saya untuk menghadap Presiden/Pangti dengan alasan bahwa dia (May.Jen. Soeharto) tidak berani[/i] mereskir[/i] (menjamin,ed) kemungkinan tambahnya Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang sekalut itu saya pergi menghadap Presiden. Saya tetap menaati perintahnya untuk tinggal di MBAD.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan tersebut di atas, sayapun berusaha mendapatkan idzin dari May.Jen Soeharto. Akan tetapi May.Jen Soeharto selalu melarangnya saya untuk menghadap Presiden/Pangti dengan alasan bahwa dia (May.Jen. Soeharto) tidak berani[/i] mereskir[/i] (menjamin,ed) kemungkinan tambahnya Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang sekalut itu saya pergi menghadap Presiden. Saya tetap menaati perintahnya untuk tinggal di MBAD.
Kelima, pada malam hari berikutnya, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 k.l. jam: 19.00 saya dipanggil rapat oleh Jenderal Nasution, KSAB di Markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat.
Kecuali Jenderal Nasution yang hadir, juga dihadiri oleh May.Jen Soeharto, May.Jen Moersyid, May.Jen Satari dan Brig.Jen Oemar Wirahadikusumah.
Kecuali Jenderal Nasution yang hadir, juga dihadiri oleh May.Jen Soeharto, May.Jen Moersyid, May.Jen Satari dan Brig.Jen Oemar Wirahadikusumah.
Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan, bahwa saya mulai ini hari ditunjuk oleh Presiden/Pangti untuk menjabat sebagai carataker Men./Pangad, yang selanjutnya menanyakan kepada saya bagaimana pendapat saya secara pribadi.
Saya menjawab, bahwa sampai saat itu saya sendiri belumlah menerima pengangkatan secara resmi secara hitam di atas putih. Maka saya berpendapat agar sementara waktu belum dikeluarkannya pengangkatan resmi (tertulis) dari Presiden/Pangti entah nantinya kepada siapa di antara kita, lebih baik kita menaruh perhatian kita dalam usaha menertibkan kembali keadaan yang darurat pada saat itu yang ditangani langsung oleh Pang.Kostrad (May.Jen Soeharto) yang juga kita percayakan untuk sementara menggantikan pimpinan AD.
Akan tetapi mengingat pada saat itu suara dan kesan dari media massa yang memuat berita-berita adanya usaha untuk menentang keputusan Presiden/Pangti tentang penunjukkan saya sebagai carataker Men./Pangad. Maka oleh Jenderal Nasution saya diminta agar pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi mengadakan wawancara pers yang direncanakan di Senayan. Saya bersedia.
Saya menjawab, bahwa sampai saat itu saya sendiri belumlah menerima pengangkatan secara resmi secara hitam di atas putih. Maka saya berpendapat agar sementara waktu belum dikeluarkannya pengangkatan resmi (tertulis) dari Presiden/Pangti entah nantinya kepada siapa di antara kita, lebih baik kita menaruh perhatian kita dalam usaha menertibkan kembali keadaan yang darurat pada saat itu yang ditangani langsung oleh Pang.Kostrad (May.Jen Soeharto) yang juga kita percayakan untuk sementara menggantikan pimpinan AD.
Akan tetapi mengingat pada saat itu suara dan kesan dari media massa yang memuat berita-berita adanya usaha untuk menentang keputusan Presiden/Pangti tentang penunjukkan saya sebagai carataker Men./Pangad. Maka oleh Jenderal Nasution saya diminta agar pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi mengadakan wawancara pers yang direncanakan di Senayan. Saya bersedia.
Keenam, tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu saya akan mengadakan wawancara pers, maka tiba-tiba May.Jen Soeharto dan saya mendapatkan panggilan dari Presiden/Pangti yang pada saat itu sudah meninggalkan pangkalan udara Halim Perdana Kusumah dan menempati kembali di Istana Bogor. Oleh karena itu, maka wawancara pers saya tunda waktunya.
May.Jen Soeharto bersama saya dan Brig.Jen Soedirgo (Dan Pomad) segera berangkat menghadap Presiden/Pangti di istana Bogor. Di istana Bogor diadakan rapat di mana hadir pula Bpk. Leimena, Bpk. Chaerul Saleh, Martadinata, Omardani, Cipto Yudodiharjo, Moersyid, M.Yusuf, dan beberapa menteri lagi.
Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa pimpinan AD langsung dipegang oleh Pangti, sedangkan May.Jen Soeharto diperintahkan untuk menjalani tugas operasi militer, kemudian kepada saya ditugaskan sebagai carataker Men./Pangad dalam urusan sehari-hari (Daily Duty).
May.Jen Soeharto bersama saya dan Brig.Jen Soedirgo (Dan Pomad) segera berangkat menghadap Presiden/Pangti di istana Bogor. Di istana Bogor diadakan rapat di mana hadir pula Bpk. Leimena, Bpk. Chaerul Saleh, Martadinata, Omardani, Cipto Yudodiharjo, Moersyid, M.Yusuf, dan beberapa menteri lagi.
Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa pimpinan AD langsung dipegang oleh Pangti, sedangkan May.Jen Soeharto diperintahkan untuk menjalani tugas operasi militer, kemudian kepada saya ditugaskan sebagai carataker Men./Pangad dalam urusan sehari-hari (Daily Duty).
Ketujuh, tanggal 14 Oktober 1965, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka May.Jen Soeharto diangkat menjadi kepala staf AD dengan membentuk susunan stafnya yang baru. Kedudukan saya menjadi Pati diperbantukan kepada KASAD.
Kedelapan, tanggal 16 Februari 1966 atas perintah KASAD May.Jen Soeharto saya ditahan di Blok P Kebayoran Baru Jakarta dengan tuduhan terlibat dalam G.30-S/PKI, dengan surat perintah penangkapan/penahanan No.37/2/1966, tanggal 16 Februari 1966.
Kesembilan, dengan perubahan status penahanan dari Ketua Team Pemeriksa Pusat, tersebut dalam surat Perintahnya No.Print. 018/TP/3/1966 saya mendapatkan perobahan penahanan rumah mulai pada tanggal 7 Maret 1966.
Kesepuluh, dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print. 212/TP /1/1969, tanggal 4 Maret 1969 saya kembali ditahan di Inrehab NIRBAYA Jakarta yang tetap dalam tuduhan yang sama.
Kesebelas, dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM/Panglima ABRI yang tersebut dalam Surat Keputusan No. Kep./E/645/1I/1970, tanggal 20 November 1970, yang ditanda tangani oleh Jenderal M. Panggabean, saya mulai dikenakan skorsing dalam status saya sebagai anggota AD, yang berikutnya pada bulan Januari 1970 saya sudah tidak menerima gaji skorsing dan hak penerimaan lainnya lagi. Sedangkan Surat Pemberhentian ataupun Pemecatan secara resmi dan keanggotaan AD ini pun sampai sekarang belum/ tidak pernah saya terima.
Keduabelas, atas dasar Surat Keputusan dari Panglima KOPKAMTIB yang tersebut dalam surat No.SKEP /04/KOPKAM/I/1981, maka dalan pelaksanaannya oleh KA. TEPERPU tersebut dalam Surat Perintahnya No. SPRIN,-481/1I/1981 TEPERPU, saya baru dibebaskan dari tahanan pada tanggal16 Februari 1981.
Jadi kalau saya perhatikan tanggal, bulan dan tahun mulai dan berakhirnya saya mengalami penahanan adalah selama waktu 15 (limabelas) tahun, tanpa kurang atau pun lebih, yaitu dari tanggal 16 Februari 1966 sampai pada tanggal 16 Februari 1981.
Ketigabelas, selama waktu saya ditahan, sepanjang waktu limabelas tahun itu, saya merasa belum pernah mengalami pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita acara yang resmi. Saya hanya menjalani interogasi secara lisan, yang di lakukan oleh Tim Pemeriksa dari TEPERPU pada tahun 1970. Sesudah itu saya tidak pernah diinterogasi lagi, sampai saatnya saya dibebaskan pada 16 Februari 1981.
Keempatbelas, untuk waktu berikutnya, maka apa, di mana, dan bagaimana yang dapat saya perbuat/lakukan sebagai seorang yang tanpa berstatus, polos selagi telanjang tanpa hak milik materi barang sedikit pun yang bernilai, yang memungkinkan untuk melanjutkan amal- kebaktian saya pada Tanah Air dan Bangsa, yang pernah saya rintiskan dalam turut serta mulai Perang Kemerdekaan 1945 yang tanpa absen itu? Segala penjuru lapangan kerja tertutup untuk kehadiranku, justru aku dipandang sebagai orang yang beratribut bekas tahanan G.30-S /PKI, bahkan mungkin menurut persepsi mereka, saya ini sebagai “dedengkot” nya G.30-S/PKI dari segala aspek.
Saya harus berani menelan pil, yang sepahit ini, dan harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup dan penghidupan saya yang telah menjadi suratan dan takdir llahi kepada saya sebagai umatnya. Manusia tak kuasa mengelak dari segala apa, yang telah dikehendakkan-Nya dan digariskan-Nya, justru DIA -lah sebagai SANG MAHA DALANG, yang memperagakan umatnya sebagai anak wayang di pentas pakeliran kehidupan dunia ini.
Saya harus mengetahui diri, ditempat, di saat dan dalam keadaan apa dan bagaimana saya ini. Saya harus dapat menguasai dan membunuh waktu, betapapun kegiatan saya sehari hari itu saya utamakan lebih dahulu demi kepentingan rumah tangga dan keluarga yang masih tersisa di rumah.
Terus terang saja kalau saya merasa malas dan enggan untuk berkunjung dan berkomunikasi dengan bekas rekan perjuangan, teman atau pun kenalan yang dahulunya saya anggap dekat/ akrab. Justru bagi mereka, yang tidak mengetahui ujung-pangkal dalam duduk perkara, saya tiada setapak pun mau maju mendekat dan bertatap muka secara hati ke hati. Kebanyakan lalu pergi menyelinap dan menghindar, yang mungkin ada merasa takut disorot, yang akibatnya dapat merugikan diri.
Namun tidak sedikit pula, bekas rekan-rekan seperjuangan dan teman/kenalan, yang masih mau berkunjung ke rumah saya, sungguh pun tempat tinggal saya sekarang ini di pinggiran kota, yang sebagian perjalanannya harus ditempuh dengan jalan kaki. Di antaranya saya merasa terkesan dengan kunjungan Letjen(P) Soedirman anggota Dewan Pertimbangan Agung, yang pada suatu malam buta berkenan meluangkan kakinya, untuk mengunjungi saya di rumah Kramatjati yang sesempit itu.
Saat pertama bersua kembali dengan saya, sedikitpun saya tidak melihat adanya perubahan wajah, sebagaimana wajah cerah amikal selagi sikapnya yang brotherly/fatherly, sebagaimana yang mula-mula saya mengenal beliau sebagai rekan Komandan Resimen yang tersenior. Beliau mengutamakan rasa kemanusiaannya dari pada rasa sebagai perwira tingginya. Beliau terkenal rajin berkunjung kepada keluarga anak buah, yang suaminya sedang mengalami penahanan, atau pun yang ditinggal bertugas operasi oleh suaminya. Beliau pun tidak ada rasa ragu mengunjungi bekas bawahannya yang berada dalam tahanan. Toleransi terhadap penderitaan teman atau pun anak buah bagi beliau tidak pernah menutup mata dan telinga, lepas dari persoalan atau pun perkara, yang sedang mereka pertanggung-jawabkan masing-masing.
Saat pertama bersua kembali dengan saya, sedikitpun saya tidak melihat adanya perubahan wajah, sebagaimana wajah cerah amikal selagi sikapnya yang brotherly/fatherly, sebagaimana yang mula-mula saya mengenal beliau sebagai rekan Komandan Resimen yang tersenior. Beliau mengutamakan rasa kemanusiaannya dari pada rasa sebagai perwira tingginya. Beliau terkenal rajin berkunjung kepada keluarga anak buah, yang suaminya sedang mengalami penahanan, atau pun yang ditinggal bertugas operasi oleh suaminya. Beliau pun tidak ada rasa ragu mengunjungi bekas bawahannya yang berada dalam tahanan. Toleransi terhadap penderitaan teman atau pun anak buah bagi beliau tidak pernah menutup mata dan telinga, lepas dari persoalan atau pun perkara, yang sedang mereka pertanggung-jawabkan masing-masing.
Sikap yang layak terpuji dan dihargai oleh khalayak orang timur, kalau orang itu dapat berteladan pada panutan sikap dan sifat, sebagaimana yang dimiliki Letjen(P) Soedirman itu. Maka kunjungan yang semacam itulah yang selalu dapat membasahi, ibarat embun yang menyiram hati saya.
Jakarta, 1 April 1989
Pembuat catatan kronologis,
Ttd.
Pranoto Reksosamodra.
Pranoto Reksosamodra.
Sumber dari buku : Memoar Mayor Jendral Raden Pranoto Reksosamodra.
BAGIAN KE ENAMBELAS
Halaman 245 sampai dengan 255, ip
Penerbit Syarikat Indonesia. ISBN 979-96819-3-6
BAGIAN KE ENAMBELAS
Halaman 245 sampai dengan 255, ip
Penerbit Syarikat Indonesia. ISBN 979-96819-3-6
G 30 S/PKI VERSI DR. SOEBANDRIO
Peristiwa G 30 S / PKI versi Dr. Soebandrio batal beredar, penulis Memoar tokoh penting Era Orde Lama itu adalah wartawan senior Jawa Pos Djono W. Oesman. Bagaimana sebenarnya isu buku yang peredarannya dibatalkan, kendati sudah dicetak 10 ribu eksemplar oleh Gramedia itu ?
HARI ini, 39 tahun silam, meletus G 30 S yang tak habis-habisnya dibicarakan. Lebih dari 110 buku berbahasa Inggris dan 35 buku berbahasa Indonesia mengupas hal tersebut. Yang terbaru, Presiden Megawati meminta agar Mendiknas membuat buku tentang hal itu dan menunjuk sejarawan Taufik Abdullah memimpin tim penulis. Salah satu diantara ratusan buku G 30 S tersebut adalah memoar Dr Soebandrio. Soebandrio( almarhum ) merupakan orang yang sangat penting dalam sejarah G 30 S . Saat itu, dia merangkap tiga jabatan, Yakni, wakil perdana mentri I, mentri luar negeri, dan kepala Badan Pusat Intelijen (kini BIN). Tapi, tentu saja isi buku itu sangat subjektif. Sebab, semuanya murni versi Soebandrio. Dia menuturkan semuacerita tersebut antara Oktober 1999 hingga September 2000 selepas dibebaskan dari penjara. Berikut cuplikan memoar yang terfokus pada kejadian 30 September dan 1 Oktober 1965 yang dituturkan Soebandrio dengan gaya saya:
Kamis Kliwon, 30 September (persis dengan hari ini) 1965, setelah menyelesaikan tugas-tugasnya di Istana. Negara, Presiden Soekarno pulang ke Wisma Yaso ( kini Musium Satria Mandala ). Di sana, beliau bersama istri Ratna Sari Dewi. Sehari sebelumnya, Panglima AU Oemar Dhani melapor kepada Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan dari daerah yang masuk ke Jakarta. Beberapa hari sebelumnya, saya melaporkan adanya kelompok perwira AD yang tidak puas terhadap presiden. Mereka membentuk\ Dewan Jendral yang kabarnya akan melakukan kudeta. Bung Karno tahu, ada yang tidak beres pada elite pimpinan AD. Buktinya, beberapa hari sebelumnya, beliau memerintahkan Menpangad Letjen A.Yani menghadap presiden. Jadwal pertemuanya 1 Oktober 1965, pukul 08.00 WIB, di istana. Topik pembicaraanya; Isu Dewan Jendral. Rencana itu batal karena Yani dibunuh sekitar lima jam sebelumnya. Sementara itu, Pangkostrad Mayjen Soeharto sejak kamis siang menunggu anaknya, Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) di RSPAD Gatot Subroto. Tommy saat itu berusia tiga tahun dirawat di sana karena ketumpahan sup panas. Menjelang malam, Kolonel Abdul Latief ( Komandan brigade Infanteri Jaya Sakti, Kodam Jaya) menemui Soeharto di RSPAD Gatot Subroto. Berdasarkan cerita Kolonel Untung ( pengawal presiden Soekarno dari Cakra Bhirawa ) kepada saya ketika kami bersama-sama dipenjara di Cimahi, Bandung, seharusnya malam itu ada tiga perwira yang menemui Soeharto.Yakni, Latief, Untung, dan Brigjen Soepardjo (Pangkopur II Kostrad). Sebelum bertemu Soeharto, mereka rapat disuatu tempat. Akhirnya diputuskan, Latief yang menghadap Soeharto untuk melaporkan bahwa pasukan penangkap Dewan Jendral sudah siap bergerak. Latief lantas kembali menemui Untung dan Soeparjo yang menunggu di suatu tempat. Latief melapor kepada dua rekannya bahwa Soeharto berada di belakang mereka.
Tentang dukungan Soeharto menangkap anggota Dewan Jendral itu diperjelas oleh cerita Untung kepada saya selama dipenjara. Katanya, pada 15 September 1965, dia mendatangi Soeharto. Meski tidak berada di satu garis komando, Untung dan Soeharto adalah sahabat lama saat mereka sama-sama di Divisi Diponegoro, Jateng. Jadi, itu pertemuan antar sahabat lama. Tapi, membicarakan masalah yang sangat penting. Di pertemuan itu, Untung melaporkan adanya isu Dewan Jendral yang akan melakukan kudeta. Untung lantas menyampaikan gagasan, akan mendahului gerakan Dewan Jendral dengan menangkap mereka lebih dahulu sebelum mereka bergerak. Ternyata Soeharto mendukung, bahkan siap membantu
mendatangkan pasukan. Karena itu, Untung meski divonis hukuman mati tenang-tenang saja. Dia mengatakan kepada saya, Pengadilan ini hanya sandiwara, Ban. Wong rencana saya didukung Pak Harto, katanya. Toh, akhirnya dia dieksekusi juga. Menjelang dini hari 1 Oktober 1965, Soeharto pulang dari RSPAD Gatot Subroto menuju ke Makostrad. Saat itu, sejumlah pasukan yang siap menangkap tujuh jendral sedang berkumpul di dekat Monas. Beberapa jam kemudian (1Oktober 1965). Tujuh Jendral itu benar-benar ditangkap dan dihabisi. Sebagian ditembak dirumah saat penangkapan, sebagian dibunuh di Lubang Buaya, Pondok Gede. Apa yang terjadi kemudian? Bagaimana Presiden Soekarno, DN Aidit, dan Oemar Dhani bisa berada di Halim (dekat Pondok Gede) pada pagi buta 1 Oktober 1965 ? Soebandrio memang controversial, baik sejak berjayanya dijaman Bung karno maupun setelah dipenjara Orde Baru. Dalam pengakuaanya kepada Djono W. Oesman, wartawan Koran ini, kontroversi itu juga bertaburan.
Berikut lanjutan penuturan Soebandrio. PERTANYAAN penting dalam sejarah G 30 S adalah : mengapa di pagi buta 1 Oktober 1965 saat tujuh Jendral dibantai di Lubang Buaya, beberapa tokoh nasional berada di Halim ( dekat Lubangt buaya?) Berikut cuplikan memoar Dr.Soebandrio ( wafat 3 Juli
2004 ) yang ditulis antara Oktober 1999- September 2000 itu. Kawasan Halim pada dini hari itu seperti menjadi sentra berkumpulnya tokoh tokoh nasional sekaligus tempat pembantaian para jendral. Disana ada Presiden Soekarno, Menko / Ketua MPRS D.N.Aidit dan Menpangau Oemar Dhani. Mereka tidak berkumpul di satu tempat, juga tidak datang bersamaan, bahkan mereka datang kesana tanpa koordinasi. Bung Karno menjelang dini hari itu mendapat telepon, bahwa baru saja terjadi penculikan beberapa jendral. Malam itu beliau tidur dirumah Wisma Yaso bersama istri Dewi Soekarno.Begitu mendapatkan telepon, dia langsung berangkat dengan dikawal ajudan Parto yang sekaligus menjadi sopir. Dari Wisma Yaso mobil meluncur keutara menuju istana.Tetapi menjelang tiba diistana, tampak ada blokade jalan. Sejumlah pasukan bersenjata siaga dilokasi blokade. Ajudan Parto kaget.Tidak ada pemberitahuan kepada ajudan presiden bahwa ada blokade di sekitar istana. Menurut Suparto itu pasukan tak dikenal. Parto lantas mengambil inisiatif memutar haluan, mobil berbalik arah.Sebelum Bung Karno bertanya tanya, Parto mengatakan, sebaiknya kita ke Halim saja pak. Kalau ada apa apa dari Halim akan dengan cepat terbang ketempat lain. Bung Karno menurut saja.Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pengawal merasa bahwa presiden dalam bahaya, pengawal harus secepatnya membawa presiden ke bandara.Dengan inisiatif Parto memutar haluan, berarti dia mengganggap presiden dalam bahaya. Setelah Bung Karno tiba di Halim, baru ajudan menjelaskan kondisi bahaya itu.Disana Bung Karno lantas ditemani Oemar Dhani selalu Menpangau yang bertanggung jawab terhadap keamanan bandara. Beberapa saat kemudian Brigjen Soepardjo ( Pangkopur II Kostrad ) yang tadi malam bersama Kolonel Abdul Latief dan Letkol Untung melapor ke Soeharto di RSPAD
Gatot Soebroto tentang persiapan pasukan penjemput para jendral, melapor ke Bung Karno. Soepardjo melaporkan, tujuh jemdral telah diculik. D.N.Aidit dini hari itu juga berada di Halim. Ini sungguh aneh.Aidit saat itu berada di sebuah rumah disekitar Halim.Dia tidak berada disatu tempat dengan Bung Karno dan Oemar Dhani. Beberapa hari kemudian saya didatangi istri Aidit. Dia berceritera bahwa pada Kamis 30 September 1965 malam, rumahnya didatangi beberapa tentara berseragam lengkap, suami saya diculik katanya. Dengan keberadaan Aidit di Halim pada dini hari dan cerita istrinya, bahwa dia dijemput tentara pada malamnya, biisa disimpulkan, bahwa malam itu Aidit dibawa tentara menuju Halim. Pagi itu, dari Pangkalan Halim Presiden Soekarno mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke Markas Besar ABRI. Isi instruksi tersebut: semua pasukan harap stand by di posisinya masing2.Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya selaku presiden dan panglima tertinggi ABRI.Semua persoalan akan diselesaikan pemerintah/presiden.Hindari pertumpahan darah. Saat itu Bung Karno hanya mendapatkan informasi, bahwa 7 jendral tersebut dibunuh. Instruksi itu lantas disambut Soeharto dengan perintah agar Letkol Untung dan kawan kawan ditangkap secepatnya. Jelas, hal itu membingungkan Untung. Dia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jendral yang akan melakukan kup dan menyampaikan gagasan mendahului geraksan Dewan Jendral dengan menangkap mereka. Semua itu didukung Soeharto.Bahkan Soeharto memberikan bantuan pasukan dari Kodam Siliwangi. Sekarang Soeharto malah memerintahkan agar Untung ditangkap. Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden Soekarno, Soeharto memanggil salah satu ajudan Bung Karno Bambang Widjanarko yang berada di Halim agar segera menghadap dirinya di Makostrad. Di Makostrad Bambang diberi tahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari pangkalan Halim. Sebab pasukan dari Kostrad dibawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim. Saat pesan ini disampaikan Bambang kepada Bung Karno, jelas Bung Karno geram sekaligus bingung.Instruksi Bung Karno agar semua pasukan stand by di posisi masing2 ternyata tidak ditaati Soeharto.Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Soekarno menyingkir dari Pangkalan Halim. Bung Karno lantas meminta nasihat para pembantu militernya.
Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali,.Menpangau Oemar Dhani mengusulkan terbang ke Madiun, Jatim. Wakil Perdana Menteri II Leimena yang pagi itu sudah berada disana mengusulkan, langkah paling hati hati adalah ke Istana Bogor lewat jalan darat.Sebab jaraknya paling dekat dengan Jakarta dan naik pesawat sangat berbahaya terhadap kemungkinan tembakan. Dari berbagai usul itu Bung Karno menganggap bahwa dirinya memang sedang dalam bahaya.Akhirnya dia memutuskan menuju Istana Bogor lewat darat. Rangkaian peristiwa tersebut bergerak sangat cepat dan detik ke detik, dari menit kemenit.Sulit dibayangkan, bagaimana mungkin posisi presiden bisa begitu terdesak hanya dalam beberapa jam akibat penculikan para jendral yang bagi presiden Soekarno saat itu belum jelas dilakukan oleh siapa. Beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim, pasukan dibawah pimpinan Sarwo Dhie Wibowo memang bergerak ke Halim menyerbu pasukan penangkap dan pembunuh para jenderal ( djono w. oesman ) Kita berdoa : Semoga nubuat Daniel 12:4, apa yang belum terungkap, akan terungkap diakhir jaman ini, Siapa Dalang Peristiwa Berdarah Ini????
Berita Jawa Pos 1 dan 2 Oktober 2004
No comments:
Post a Comment