ANGKATAN 30 (ANGKATAN PUJANGGA BARU)
1. Latar Belakang
Pujangga baru adalah majalah kesusastraan yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1933 di Jakarta(waktu itu Batavia). Para pendirinya adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Penerbitan majalah ini berhenti pada saat invasi Jepang ke Hindia Belanda pada tahun 1942.
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia.
Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane, Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan.
2. Peristiwa Penting yang Terjadi pada Masa Angkatan Pujangga Baru
Seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan. Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
Ikrar Sumpah Pemuda 1928:
• Pertama Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
• Kedoea Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
• Ketiga Kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.. Read More
3. Visi dan Misi Angkatan Pujangga Baru
Melihat latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.
4. Ciri-Ciri Sastra Pada Masa Angkatan Pujangga Baru
Sudah menggunakan bahasa Indonesia
Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang)
Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional
Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
5. Pengarang dan Karya Sastra Pujangga Baru
• Sutan Takdir Alisjahbana
o Dian Tak Kunjung Padam (1932)
o Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935)
o Layar Terkembang (1936)
o Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)
o Kalah dan Manang
• Hamka
o Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)
o Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939)
o Tuan Direktur (1950)
o Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
• Armijn Pane
o Belenggu (1940)
o Jiwa Berjiwa
o Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)
o Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
o Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)
• Sanusi Pane
o Pancaran Cinta (1926)
o Puspa Mega (1927)
o Madah Kelana (1931)
o Sandhyakala Ning Majapahit (1933)
o Kertajaya (1932)
• Tengku Amir Hamzah
o Nyanyian Sunyi (kumpulan puisi:1954)
o Begawat Gita (1933)
o Setanggi Timur (1939)
o Buah Rindu (1950)
• Rustam Effendi
o Bebasari (1953)
o Pertjikan permenungan (1957)
• Muhammad Yamin
o Drama Ken Arok dan Ken Dedes (1951)
o Indonesia Tumpah Darahku (1928)
o Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
o Tanah Air (1920)
Pelopor Angkatan Pujangga Baru adalah Sutan Takdir Ali Syahbana, Armjin Pane, dan Amir Hamzah.
CONTOH KARYA :
TANAH AIR
Pada batasan, Bukit Barisan
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampak hutan rimba dan ngarai;
Lagi pun sawah, sungai yang permai;
Serta gerangan, lihatlah pula
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku,
Sumatra namanya, tumpah darahku.
Sesayup mata, hutan semata,
Bergunumg bukit, lemah sedikit;
Lauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunumg satu per satu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
Firdaus Melayu di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.
Pada batasan, bukit barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala
Itulah laut, Samudra Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai,
“Wahai Andalas, pulau Sumatra,
“Harumkan nama, selatan utara!
(Jong Sumatra, Th. III, no. 4, April 1920, h. 52)
No comments:
Post a Comment