CHAIRIL ANWAR PELOPOR ANGKATAN 45
Data Buku
Judul : Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45
Penulis : H. B. Jassin
Cetakan : VII, 1985 (cet. I, 1956)
Penerbit : PT. Gunung Agung, Jakarta
Tebal : 184 halaman
Gambar kulit dan penata wajah : AMA
Beberapa sajak hasil terjemahan Chairil Anwar dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
(Tapi sebelumnya, kita nikmati dulu “satu-satunya” sajak Chairil Anwar yang ditulis dalam bahasa Belanda: Catastrophe, hlm. 63)
Catastrophe
Hun vijver werd moeras,
Rust werd gevaar,
En nymphen zonken
Zwaar toen zij niet
Meer zwemmen konden.
Het bleekgroen riet
Week, door zwart poelgewas
Verstikt en overwoekerd,
Van de verwaasde oev’ren.
Toen enklen boven dreven,
Gezwollen als verworgden,
De heren los,
Doken die overleefden
Dieper in het bos.
Maar steeds naar de ramp getrokken
Zagen zij and’re doden
Die niet verdronken:
Zij die niet vloden
Liggend in ‘t slib, de voeten
Domplend in drabbig water,
Een prooi voor iedren sater,
Wiens bronst hen komt bezoeken.
Jakarta, 23 September 1945
* Dari Seruan Nusa. Memperingati berdirinya I Tahun K.R.I.S. Oktober 1945-1946, Yogyakarta, hal. 19.
Huesca
Jiwa di dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku,
Bayangan yang bikin tinjauan beku.
Angin bangkit ketika senja,
Ngingatkan musim gugur akan tiba.
Aku cemas bisa kehilangan kau,
Aku cemas pada kecemasanku.
Di batu penghabisan ke Huesca,
Pagar penghabisan dari kebanggaan kita,
Kenanglah, sayang, dengan mesra
Kau kubayangkan di sisiku ada.
Dan jika untung malang menghamparkan
Aku dalam kuburan dangkal.
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal.
(diterjemahkan dari puisi John Cornford, Huesca).. Read More
Jenak Berbenar
Yang kini entah di mana di dunia nangis,
tidak berpijakan di dunia nangis,
nangiskan aku
Yang kini entah di mana tertawa dalam malam,
tidak berpijakan tertawa dalam malam,
mentertawakan aku
Yang kini entah di mana di dunia berjalan,
tidak berpijakan di dunia berjalan,
datang padaku
Yang kini entah di mana di dunia mati
tidak berpijakan di dunia mati
pandang aku.
(diterjemahkan dari puisi R.M. Rilke, Ernste Stunde)
Mirliton
Kawan, jika usia kelak
meloncer kita sampai habis-habisan,
jika seluruh tubuh, pehong lagi bengkok,
hanya encok tinggal menentu kemudi,
menyerah : “Sampai sini sajalah”,
akan menyingkirkah kita bertambur bisu
mencari jalan belakang
kawan?
Ini tersurat juga bagi pengantin pilihan:
sekeras batu laun ‘kan terkikis,
dan ini karkas, barang sewaan,
meninggalkan kita, tidak lagi memaling –
Cukup! Berkeras sampai gerum penghabisan
kawan
(diterjemahkan dari puisi E. Du Perron, Mirliton)
Musim Gugur
Tuhan : sampai waktu. Musim panas begitu megah
Lindungkan bayanganmu pada jarum hari
dan atas padang anginmu lepaslah.
Titahkan buahan penghabisan biar matang
beri padanya dua hari dari selatan lagi
Desakkan mereka ke kemurnian dan buru jadi
gula penghabisan dalam anggur yang garang.
Yang kini tidak berumah, tidakkan menegak tiang
Yang kini sendiri, ‘kan lama tinggal sendiri,
‘kan berjaga, membaca, menyurat panjang sekali,
dan akan pulang balik melalu gang
berjalan gelisah, jika daunan mengalun pergi.
(diterjemahkan dari puisi R.M. Rilke, Herbsttag)
Datang Dara, Hilang Dara
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lagu.”
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lagu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tidak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
(diterjemahkan dari puisi Hsu Chih-Mo, A Song of the Sea)
Fragmen
Tiada lagi yang akan diperikan? Kuburlah semua ihwal,
Dudukkan diri beristirahat, tahanlah dada yang menyesak
Lihat ke luar, hitung-pisah warna yang bermain di jendela
Atau nikmatkan lagi lukisan-lukisan di dinding pemberian
teman-teman kita.
atau kita omongkan Ivy yang ditinggalkan suaminya,
jatuhnya pulau Ikinawa. Atau berdiam saja
Kita saksikan hari jadi cerah, jadi mendung,
Mega dikemudikan angin
- Tidak, tidak, tidak sama dengan angin ikutan kita …
Melupakan dan mengenang –
Kau asing, aku asing,
Dipertemukan oleh jalan yang tidak pernah bersilang
Kau menatap, aku menatap
Kebuntuan rahsia yang kita bawa masing-masing
Kau pernah melihat pantai, melihat laut, melihat gunung?
Lupa diri terlambung tinggi?
Dan juga
diangkat dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain
mengungsi dari kota satu ke kota lain? Aku
sekarang jalan dengan 1 ½ rabu.
Dan
Pernah percaya pada kemutlakan soal …
Tapi adakah ini kata-kata untuk mengangkat tabir pertemuan
memperlekas datang siang? Adakah –
Mari cintaku
Demi Allah, kita jejakkan kaki di bumi pedat,
Bercerita tentang raja-raja yang mati dibunuh rakyat;
Papar-jemur kalbu, terangkan jalan darah kita
Hitung dengan teliti kekalahan, hitung dengan
teliti kemenangan. Aku sudah saksikan
Senja kekecewaan dan putus asa yang bikin tuhan juga turut tersedu
membekukan berpuluh nabi, hilang mimpi, dalam kuburnya.
Sekali kugenggam Waktu, Keluasan di tangan lain
Tapi kucampur baurkan hingga hilang tuju.
Aku bisa nikmatkan perempuan luar batasnya, cium
matanya, kucup rambutnya, isap dadanya jadi
gersang.
Kau cintaku
Melenggang diselubungi kabut dan caya, benda yang tidak menyata
Tukang tadah segala yang kurampas, kaki tangan tuhan –
Berceritalah cintaku bukakan tubuhmu di atas sofa ini
Mengapa kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
dari kecemasan sampai ke istirahat-dalam-kecemasan;
cerita surya berhawa pahit. Kita bercerita begini –
Tapi sudah tiba waktu pergi, dan aku akan pergi
Dan apa yang kita pikirkan, lupakan, kenangkan, rahsiakan
Yang bukan-penyair tidak ambil bagian.
(diterjemahkan dari puisi Conrad Aiken, Preludes to Attitude)
No comments:
Post a Comment